Pesawat kertasku terbang



Bebas....
Kebebasan..... 
Aku menjemputmu.... 





Hari itu aku tak lagi memainkan model plastik Gundam sambil membuat efek suara dengan mulutku sendiri, dan aku tak lagi bermain-main dengan jepitan baju untuk menciptakan sosok robot terkuat. Aku pun sudah tak lagi menggunakan karet gelang serta kertas alumunium, sebagai senjata pertahanan diri. Aku juga sudah berhenti mencoba ber-cosplay dengan mantel ayahku serta syal berbulu milik ibuku. Karena hari itu aku sudah jadi murid SMP. 
Aku datang terlambat waktu itu. Dan saat itu, aku liat gerbang sekolah sudah ditutup. 
     "Pak satpam, tolong dong bukain gerbangnya. Saya janji tidak akan mengulangi lagi. Saya masih baru disini pak."
     "Anak baru.... datang terlambat.....gimananya? Mending kamu balik aja lagi ke sekolah dasar. Cita-cita tinggi tapi terlambat."
Aku saat itu berfikir... "Datang terlambat sebenarnya bukan hal yang buruk. Polisi datang setelah ada kejadian yang terjadi. Dan pahlawan selalu datang terlambat. Tapi, apakah ada yang menyalahkan mereka? Jadi keterlambatan adalah keadilan kan?"
     Lalu datang seorang wanita tinggi dan cantik. Kemudian satpam itu langsung membukakan gerbang untuknya. 
     Angin sepoi-sepoi datang bersamaan dengan tegurannnya.
    "Kamu, kenapa tidak masuk nak?"
    "Saya telat bunda, jadi saya nggak masuk. Mohon maaf bunda, padahal saya anak baru."
    "Eng....Pak! Saya disini aja bersama anak ini."
    ".....tapi buk, sudah saya buka lo."
    "Tidak Pak, Saya disini saja."
    "Jadi, kamu dulunya sekolah mana?" Sambil senyum berdiri kehadapku. Aku masih terpelongo melihat wanita tinggi itu. "Nak.... Kamu kenapa melamun begitu?" Aku langsung mengusap wajahku.. "Mmm.... Tidak ada Bu. Tidak apa-apa."
"Kamu di kelas mana sekarang?"
"Di kelas 7B, Bu."
"Emmm..... Belajar apa hari ini?"
"Fisika Bu."
"Ooo.... Kalau begitu ibu bisa ngajari kamu. Nama ibu, Ibu Kiana . Wali kelas 7B."
Aku memalingkan wajah dan terpelongo lagi dan tersadar kembali karena klakson angkot yang berlalu. 
Sontak, aku menyalamnya dan memperkenalkan diri. Kemudian ia mengajariku duduk di bebatuan luar bersamaku memakai bukuku. Betapa baiknya sosoknya pikirku, aku belajar sambil meneteskan air mata mengingat ibuku yang telah tiada yang pernah mengajariku dengan lembut hati. 
"Pesawat itu bisa terbang karena gaya dorong mesinnya lebih besar dari......"
Ia berbicara dengan tertata rapi. Aku kagum kepadanya. Begini rupanya seorang guru, pikirku. Lalu aku membuat pesawat kertas dan... 
"Bu, lihat pesawat kertas yang aku buat! Bisa terbang tanpa gaya dorong mesin."
"Pesawat itu bisa terbang karna gaya dorong dari tanganmu nak. Artinya tenaga tanganmu lebih besar daripada....."
Terdiam aku kagum dengan tanganku.... "Kamu hebat tanganku..."
Lalu ibu itu tertawa. 
"Oh iya, ibu ada kincir angin ini buat kamu yang udah belajar."
"Ah... Terima kasih Bu."

Esoknya kami bertemu lagi di jam istirahat. 
"Assalamu'alaikum, nak. Ibu mau menginformasikan bahwa besok ada karya wisata."
"Oh iya bu." Aku bahkan tidak peduli. 
Aku suka berfikir... Apa itu Karya Wisata?
Itu adalah semacam tiruan kehidupan bermasyarakat. Kau tidak bisa memilih sendiri tempat yang ingin kau tinggali atau makanan yang ingin kau makan. Tapi dengan beberapa pengecualian, kau bisa bersenang-senang dengan biaya yang menipu dirimu.
"Oh... Iya Bu."
"Ngomong-ngomong kamu bisa bantu ibu tidak nak mengangkat buku ini ke kelas?"
"Emmm... Tidak bisa Bu. Ibu lihat kan, saya sedang makan."
"Baiklah nak, terima kasih."

Dan pada detik itu, aku menyesal seumur hidupku. Aku merenung.... Misalnya… Misal saja aku bisa kembali ke save data seperti dalam sebuah game dan aku bisa mengambil pilihan yang tepat, maka apakah aku bisa menolongnya saat itu juga?
Ibu itu meninggal 2 hari kemudian.
Aku menangis selalu dikelas. Mengingat kejadian hari pertama sekolah. 
Tapi semua telah terjadi. Aku hanya bisa berdoa. Karena aku tak memiliki harta sama sekali, yang bisa aku berikan hanyalah doa, hal-hal samar lainnya. Dan aku tidak akan pernah lupa bahwa ia adalah kincir angin bagiku. Dia selalu tegak walaupun didorong masalah. 
Dia tahu aku bisa berdiri sendiri. Meskipun begitu, dia tetap mengulurkan tangannya kepadaku. Aku tidak akan lupa, aku janji. 










     

Komentar

Postingan Populer